KBRN, Sidoarjo : Dinas Kesehatan (Dinkes) Sidoarjo bersama pihak terkait tangani ribuan kasus tuberkulosis (TBC) di tahun 2023 dengan prosentase kesembuhan 90%. Hal itu meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Tuberkulosis atau TB di Sidoarjo pada tahun 2023 mencapai 6119 kasus dengan kasus tertangani oleh dinas kesehatan dan pihak terkait sebanyak 5894 kasus, dimana secara prosentase kasus TB di Sidoarjo berhasil ditangani 90% dari total tersebut.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo, Fenny Apridawati dalam pernyataan upaya kolaborasi penanggulangan tuberkulosis bersama Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (YBYS) pada Selasa (12/12).
Fenny mengakui jika Sidoarjo berada pada urutan kedua daerah dengan kasus TB tertinggi di Jawa Timur setelah Surabaya. Namun, hal itu juga diimbangi dengan penanganan dan pencegahan yang masih bersama pihak-pihak lain di lintas sektor.
“Tidak usah minder bahwa angka TB di Sidoarjo tinggi, ini menunjukkan bahwa kita benar-benar bekerja untuk melakukan deteksi dan penanganan. Finalisasi nya adalah nanti di tahun 2030 apakah kita berhasil menekan angka TB ini,” kata Fenny.
Menurutnya, capaian treatment success rate (TSR) TBC di Sidoarjo tahun 2023 alami peningkatan dibandingkan tahun 2022. Hal itu menjadi trend positif bahwa penanganan untuk penderita TB meningkat.
Dia juga menyebut penemuan terduga TB dan kasus TB di fasyankes, utamanya rumah sakit swasta dianggap belum optimal. Selain itu, Masih tinggi nya angka loss to follow up dan pasien’ mangkir sebelum selesai pengobatan juga menjadi penyebab meningkatnya angka TBC.
“Ada sekitar 300 pasien yang loss to follow up dari penanganan kita. Angka kematian juga menurun yakni sekitar 3,22% dari 5 ribu lebih kasus yang kita tangani. TB ini bukan aib dan masyarakat dihimbau untuk terbuka demi kesembuhan,” ungkapnya.
Ketua Yayasan YBYS, Siti Setyani mengaku telah konsen melakukan riset dan pencegahan dini terkait sebaran TB di wilayah Sidoarjo sejak tahun 2021 lalu. Ia mengaku investigasi dan pelacakan penderita TB menjadi salah satu hal penting untuk pencegahan dini.
“Pelacakan ini salah satunya dengan membentuk desa tanggap tuberkulosis, dimana warga melalui pemerintah desa dan kader kesehatan diajak untuk lebih peduli terhadap penderita TB. Khususnya orang-orang di sekitar mereka,” ungkap Siti.
Siti mengakui jika aksinya bersama YBYS kerap diwarnai tangisan penderita, tak heran jika mereka disebut malaikat kecil oleh penderita TB dalam mendampingi mereka menuju kesembuhan dan dapat beraktivitas kembali.
“Tak jarang dalam masa pendampingan penderita TB, kami kerap ditangisi dan dianggap sebagai malaikat kecil,” tuturnya sedih.
Dia berharap masyarakat secara luas dapat membuka diri dan lebih care terhadap para penderita TB untuk menuju angka kesehatan yang maksimal di tahun 2030 nanti.
Sementara itu, Kepala Desa Buncitan, Sedati Mujiono dimana desanya menjadi satu-satunya desa yang menganggarkan penanganan TB melalui APBDes mengaku bangga dan bakal terus meluaskan hal serupa ke beberapa desa di sekitar nya.
“Meski desa kami adalah satu-satunya desa yang menganggarkan dan mensahkan kelompok tanggal TB desa, tidak membuat kami berpuas hati. Ke depan mungkin hal ini akan kami tularkan ke desa-desa yang lain khususnya di sekitar Buncitan,” tegas Mujiono mengakhiri.